MUI mengeluarkan pernyataan resmi terkait berbagai tanggapan dan respon dari berbagai pihak terhadap fatwa MUI terkait kerukunan hidup beragama yaitu haramnya memakai atribut non-muslim. Berikut pernyataan resmi MUI!

PERNYATAAN PANDANGAN DAN SIKAP MUI

Nomor: Kep-128/MUI/XII/2016

Sehubungan dengan munculnya berbagai tanggapan dan respons dari berbagai pihak terhadap fatwa MUI Nomor : 56 tahun 2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non Muslim yang menimbulkan pemahaman yang keliru tentang fatwa tersebut, maka Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Substansi fatwa MUI Nomor 56 tahun 2016 tersebut menyatakan : a). Menggunakan atribut keagamaan non muslim adalah haram. b). Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non muslim adalah haram.
  2. Secara jelas fatwa tersebut ditujukan kepada umat Islam agar menjaga akidah dan keyakinannya, serta melarang pihak manapun untuk mengajak dan/atau memerintahkan kepada umat Islam untuk menggunakan atribut keagamaan non muslim, karena hal itu bertentangan dengan akidah dan keyakinannya.
  3. Fatwa tersebut dibuat dalam kerangka penghormatan terhadap prinsip kebhinnekaan dan kerukunan umat beragama di Indonesia. Makna dari kebhinnekaan adalah kesadaran terhadap perbedaan, termasuk perbedaan dalam menjalankan keyakinan agamanya. Dengan demikian, faktor penting dalam prinsip kebhinnekaan adalah adanya saling menghormati dan tidak memaksakan keyakinannya tersebut kepada orang lain. Setiap bentuk pemaksaan keyakinan kepada orang lain adalah bertentangan dengan HAM dan konstitusi.
  4. Fatwa MUI mempunyai daya ikat keagamaan (ilzam syar’i) dan merupakan panduan bagi umat Islam dalam menjaga akidah dan keyakinannya, serta menjadi kaedah penuntun dan sumber inspirasi dalam pembentukan peraturan perundangan di Indonesia. Oleh karena itu, Dewan Pimpinan MUI mengapresiasi kepada berbagai pihak, khususnya jajaran kepolisian dan kepala daerah yang menjadikan fatwa tersebut sebagai sumber rujukan dalam menjaga ketertiban dan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Wallahu al-Musta’an, wa Ilaihi at-Tuklan.

Jakarta, 20 Desember 2016
DEWAN PIMPINAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua Umum
DR. KH. MA’RUF AMIN
Sekretaris Jenderal
DR. H. ANWAR ABBAS, MM, MA 

Berikut ini adalah copy dari pernyataan di atas!


Atas fatwa MUI itu Kapolri Jenderal Tito Karnavian menegaskan bahwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukan hukum positif. Sehingga, kata dia tidak bisa dijadikan rujukan bagi jajaran kepolisian di semua tingkatan untuk membuat surat edaran dengan referensi Fatwa MUI.
"Fatwa MUI bukan hukum positif. Itu sifatnya koordinasi, bukan rujukan yang kemudian ditegakkan," tegas Tito seusai diskusi bertajuk “Merangkai Indonesia Dalam Kebhinnekaan” di Aula Lateif, Universitas Negeri Jakarta , Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (19/12).
********
TANGGAPAN dari Ketua Umum MUI Sumatera Barat Buya Gusrizal

"Di Sinilah Dibutuhkan Kearifan"

Oleh. Buya Gusrizal (Ketua MUI Sumbar)
Pernyataan "fatwa MUI bukan rujukan hukum positif di negara ini" tidak benar secara total dan tidak pula salah secara keseluruhan.
Dalam beberapa bidang kehidupan bernegara, fatwa MUI telah menjadi rujukan seperti dalam produk perbankan syari'ah dan produk halal, fatwa MUI lah yang menjadi rujukan.
Dalam hubungan antar umat beragama, MUI menjadi bagian yang selama ini terus diminta keaktifannya untuk bersama menjalin toleransi. Bahkan ketika fatwa tentang terorisme dan korupsi keluar, gegap gempita puja dan puji disoraksoraikan: Itu lah fatwa MUI !
Kadang menarik, menggemaskan bahkan menjengkelkan bagi mereka yang memiliki kelabilan emosi dan dihantui ketakutan oleh Islam.
Namun yang perlu menjadi catatan penting adalah penegasan bahwa "fatwa MUI bukanlah rujukan hukum positif di negara", menurut saya adalah sebentuk "arogansi" dan "pernyataan berseberangan" yang hanya akan memperkeruh kehidupan berbangsa saja.
Fatwa walaupun bukan hukum positif suatu negeri tetaplah menjadi rujukan umat Islam karena ia terambil dari dalil-dalil Syari'at Islam. Pada puncak dalil itu adalah sumber hukum Islam yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw.
Penegasan seperti itu bisa semakin memperkuat dugaan bahwa penguasa berusaha keras memperhadap-hadapkan negara dengan Islam dan umat Islam sebagai agama dan umat mayoritas bangsa ini.
Konsep perpaduan antara kecintaan kepada tanah air dengan kecintaan kepada Islam yang telah dirumuskan oleh ulama, diremukkan oleh pernyataan tidak bijak seperti itu.
Mungkin banyak yang lupa apalagi orang-orang yang dititipi amanah untuk memimpin negeri ini, saya hanya mengingatkan !
Bila tuan-tuan membuat konsep pembenturan antara hukum buatan manusia dengan hukum yang bersumber dari wahyu Allah swt kemudian tuan-tuan sudutkan unat Islam untuk memilihnya maka yakinlah !
"SELAMA ADA KEIMANAN YANG HAKIKI DALAM DIRI SEORANG MUKMIN, TAK AKAN IA CAMPAKKAN HUKUM ALLAH SWT UNTUK BERSUJUD KEPADA HUKUM BUATAN MANUSIA"
Sikap itu merupakan perwujudan dari kepatuhan kepada tuntunan Allah swt:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا -الأحزاب : 36
"Dan tidak ada hak bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata". (QS. al-Ahzab 33:36)
Karena itu, saya berharap kepada mereka yang merasa ditokohkan di negeri ini, "berhentilah mempertentangkan antara ketundukan kepada Islam dan kesetiaan kepada negara" !
Bila tuan-tuan tetap menggiring opini seperti ini, berarti tuan-tuan telah menggiring bangsa ini kepada kondisi kehilangan jati diri !
Disinilah dituntut kearifan tuan-tuan sebagai negarawan kalaupun bukan "mukmin hakiki". 
******
TANGGAPAN dari Ketua PP Muhammadiyah

Busyro Muqoddas, kecewa dengan ucapan Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian yang menyatakan bahwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukan merupakan hukum positif dan tidak bisa dijadikan rujukan.
Dalam rilis CNN Indonesia, Busyro menjelaskan ucapan yang dikatakan oleh kapolri itu justru bisa menimbulkan persoalan baru dan bertentangan dengan salah satu dasar hukum, yaitu agama.
“Saya sayangkan ketika Pak Kapolri bilang kalau Fatwa MUI tidak bersifat hukum positif, hukum kan ada empat, salah satunya hukum agama, lalu yang dikeluarkan oleh MUI adalah fatwa agama, tentu ini hukum positif,” kata Busyro di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (20/12).
Menurut Busyro, ucapan Kapolri justru bersifat dikotomis tanpa mempertimbangkan landasan hukum agama dari fatwa tersebut. Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, kata Busyro, sama sekali tidak akan memimbulkan konflik jika dipersepsi dengan benar.
“Saya tidak permasalahkan fatwa itu, isinya sudah benar. Harusnya Kapolri bisa bersikap seperti Kapolres Kulonprogo yang bisa menyambut baik fatwa ini,” kata dia.
Lebih lanjut, Busyro menyayangkan sikap Tito yang justru langsung mengeluarkan pernyataan dan penindakan keras terhadap kejadian tersebut. Menurut dia, sikap Tito dalam melakukan penindakan permasalahan ini berbeda dengan sikap ketika menangani aksi pada 2 Desember lalu.
*****
TANGGAPAN KH. Bachtiar Nasir (Pengurus Muhammadiyah, Pengurus MUI, Ketua GNPF MUI):
BERBAHAYA JIKA UMMAT TIDAK TERIKAT PADA FATWA ULAMA. Karena;
1. Sumber hukum Ummat Islam adalah ;
  • – Alqur'an
  • – Hadits
  • – Ijma'
  • – Qiyas
  • – Istihsan
  • – Mashaalih Mursalah
  • – Saddudz Dzari'ah.
Tidak semua ummat dapat memahami sendiri maksud dari ayat Alqur'an dan Hadits Nabi صلى الله عليه وسلم .
Karenanya ummat harus memgikatkan diri pada fatwa ulama dalam urusan agama dan dunia.
2. Semua sumber hukum Islam selain Quran dan Hadits sebagaimana tertulis pada poin 1 diatas adalah wilayah kompetensi orang2 berilmu (ulama) saja yang dapat memahaminya.
3. Ada yang hendak melemahkan ummat Islam dengan cara memutus hubungan subtantif ummat dengan ulamanya.
4. Kebijakan publik ummat Islam diamanahkan Allah kepada para ulama sebagai Ulil Amri.


Sumber: www.kasmui.com

Post a Comment

 
Top